Surat dari Anak seorang Feminis yang Menggugah - FERI SULIANTA

FERI SULIANTA

Feri Sulianta's News Relay Berita terkini seputar edukasi hiburan gaya hidup teknologi kesehatan hobi sosial manzone

test banner

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Thursday, January 11, 2018

Surat dari Anak seorang Feminis yang Menggugah

Seorang anak lelaki yang dibesarkan ibu seorang feminis mencurahkan pikirannya yang paling jujur perihal segala daya dan upaya yang dikerahkan sang ibu yang memperjuangkan paham feminisme. Sayangnya, web sumber lansiran sudah tidak lagi bisa diakses, dan penulis sempat mengarsip artikel tersebut dan mendokumentasikannya untuk kembali di hadirkan sebagai ‘pernyataan kejujuran’ dari pribadi yang sama sekali tidak memihak sekaligus sebagai bahan introspeksi, silahkan pembaca menilai berdasarkan hati nurani pembaca.
Ilustrasi Surat (Sumber:http://www.netsidebar.com/wp/wp-content/uploads/letter2.jpg)

Artikel yang berjudul: Dari putra seorang feminis (From the son of a feminist) ditulis oleh Edgar van de Giessen, dalam suratnya dikatakan bahwa:

Nama saya Edgar van de Giessen. Saya berusia 45 tahun dan saya putra salah satu mantan feminis terkemuka di Belanda pada tahun tujuhpuluhan, sang ibu merupakan wanita pertama yang menerima Harriet Freezer Award, yang diberikan oleh organisasi Opzij perihal perannya sebagai aktivis feminis. Edgar menyatakan bahwa dirinya menulis pernyataan ini bukan untuk mencari simpati pribadi, tujuannya untuk berbagi isi hatinya, ia berharap bahwa suatu hari pria dan wanita dapat hidup dalam cinta dan hormat, dan tidak berdasarkan kesetaraan hukum semata.

Berikut isi surat yang diterjemahkan sbb: Sebelum saya menjelaskan konsekuensi pribadi dari pendidikan feminisme yang saya terima sejak usia 7 hingga 17 tahun, saya ingin mengungkapkan rasa hormat saya untuk semua perempuan dan laki-laki yang berhak memprotes penindasan dan diskriminasi atas dasar jenis kelamin, warna kulit, atau latar belakang etnis. Saya ingin Anda membayangkan bagaimana jadinya jika anak di usia sepuluh tahun mendengar setiap hari dari ibunya yang mengatakan bahwa laki-laki adalah penyebab semua masalah di dunia, bahwa laki-laki bersalah atas semua kejahatan dan perang dan penindasan di dunia, bahwa semua laki-laki harus dikebiri setelah air mani para pria dibekukan untuk memastikan keberadaan generasi berikutnya, bahwa laki-laki harus hidup di kota yang berbeda dari wanita, sehingga mereka semua bisa saling membunuh dan memecahkan masalah mereka sendiri.

Ini adalah jenis pengajaran feminis yang saya terima setiap hari, hingga menciptakan rasa yang tidak percaya diri yang dalam pada otoritas laki-laki, dan perasaan tidak pernah bisa menjadi baik atau dicintai sebagai manusia karena kelelakian saya. Hal ini memicu saya untuk membuat pembuktian pada ibu saya bahwa saya berbeda dengan kebanyakan laki-laki. Hal ini membuat saya menjadi orang yang angkuh terhadap lelaki lainnya, yang justru membuat saya kesepian dan tanpa teman di hampir sepanjang hidup saya. Hal ini juga menyebabkan saya benci terhadap perempuan atas kemarahan yang harus saya pendam karena dengan mengungkapkan hal itu akan membuktikan bahwa ibuku benar perihal laki-laki. Tekanan ini membuat saya seakan sebagai laki-laki yang sangat baik, padahal jauh di dalam lubuk hati saya, tersembunyi kebencian untuk menyerang perempuan dengan fantasi perkosaan dan kekerasan.

Ajaran feminis memberikan efek rabies pada diri saya, dan saya membutuhkan terapi selama 25 tahun, juga pencerahan spiritual dan penyembuhan emosional yang dalam untuk mulai menemukan nilai diri saya sendiri dan mulai menjalin hubungan dengan diri saya sendiri, juga dengan para laki-laki dan para perempuan. Perang antara jenis kelamin masih belum terpecahkan. Tingkat perceraian mengungkapkan kebenaran yang menyedihkan pada banyak orang. Kekerasan antara laki-laki dan perempuan masih mengisi surat kabar dan feminisme belum mampu mengatasi masalah ini.

Dalam kasus pribadi saya, feminisme itu sendiri, sebagian besar menciptakan masalah-masalah baru dan justru sama sekali tidak mencegah masalah. Dan jika feminisme menyebabkan pria membenci wanita, seharusnya feminis bertanya pada diri sendiri, cukup sadarkan hati manusia untuk memberikan jalan keluar dari sekelumit problematika manusia? Ketika ibu saya memberikan ceramah feminisme dan mengungkapkan kemarahannya kepada saya sebagai anak laki-laki, apakah ia tidak pernah berpikir bahwa kata-katanya dan energi kemarahannya justru menghujam anaknya sendiri? Luka emosi atas perlakukan ibu saya tidak hanya dikarenakan kata-katanya, tetapi juga dalam dirinya yang “tidak berperasaan” yang berdampak merusak kepada anak lelakinya. Dengan caranya, ibu saya telah melukai emosinya sendiri yang juga mengubahnya menjadi seorang wanita pembenci pria, ia justru bangga sebagai feminis yang antipati terhadap laki-laki.

Alhasil, saya menjadi pembenci diri sendiri dan juga pembenci wanita. Yang ingin saya katakan, adalah bahwa meskipun dalam beberapa aspek, feminisme memiliki peran penting dalam menciptakan persamaan hak bagi perempuan, feminisme tidak memiliki kontribusi positif bagaimana pria dan wanita agar dapat hidup dengan penuh rasa hormat dan cinta. Didikan ibu feminis justru membuat saya berperilaku sebaliknya. Saya percaya bahwa seorang pria yang sehat secara emosional tidak akan pernah memiliki keinginan untuk menindas perempuan. Seorang wanita sehat secara emosional tidak akan pernah memiliki keinginan untuk memukul pria.

Feminisme di masa tujuh puluh hingga delapan puluh-an, merupakan gerakan yang sangat reaktif yang mengobarkan kekuatan yang menindas, melakukan perlawanan, alih-alih bekerja sama dan merangkul untuk menanggulangi masalah nyata. Maka dari itu feminisme tidak pernah bisa sukses dalam menciptakan suasana di mana cinta dan ‘kekuatan feminin’ berkembang dalam suasana saling percaya dan menghormati bersamaan dengan ‘kekuatan laki-laki’.

Saya merasakan dan memahami bahwa wanita hanya bisa menghormati ‘kekuatan laki-laki yang muncul dari hati terdalam’, tapi feminisme dan gerakan emansipasi gagal untuk mendukung munculnya generasi pria semacam itu dan bahkan tidak memiliki sarana untuk melakukannya. Dengan cara itu, gerakan feminisme tidak dan tidak dapat mengakui fakta bahwa setiap laki-laki dibesarkan dalam asuhan seorang wanita, dan bahwa hubungan sang laki-laki tersebut dengan wanita kelak, sebagian besar dipengaruhi oleh hubungan-nya dengan sang ibu.

Mengapa feminisme tidak mencetuskan visi misi guna membesarkan anak laki-laki menjadi pria yang penuh kasih dan kuat, yang pada wanita, laki-laki bisa percaya dan merasakan cinta? Yang terjadi justru, anak laki-laki berubah menjadi laki-laki yang menindas, pembenci atau tidak menghormati wanita.

Saya yakin, bahwa jika anak laki-laki menerima ‘cinta kasih seorang ibu’ hal ini tidak akan terjadi! Ini berarti bahwa, feminisme selalu kekurangan pengetahuan yang seksama perihal kesehatan emosional, bahwa cinta yang sehat dapat ditularkan dari satu hati manusia ke manusia yang lain, dari ibu kepada anaknya, dari ayah kepada anaknya, dari laki-laki terhadap perempuan dan dari perempuan kepada laki-laki . Tanpa visi tersebut, yang dikarenakan kebutaan dari feminisme akan hati manusia, terlepas dari jenis kelamin, feminisme hanyalah gerakan reaktif belaka dengan ajarannya yang salah, dan sayangnya, feminisme tidak akan pernah mencapai tujuannya.

Diterjemahkan dari surat yang ditulis oleh: Edgar van de Giessen (Sumber lansiran: http://brightage.net/storage/articles/son-of-a-feminist.html)

Post Top Ad

Responsive Ads Here