Pertanyaan yang Anda layangkan pada saya, di satu sisi akan dijawab 'Ya' jika saya hanya mengandalkan perasaan dan memenangkan keluhan kelompok tertentu yang mengelu-elukan feminisme dan emansipasi. Jika saya menggunakan logika dan memikirkan kelompok lainnya yakni adalah kaum pria, kondisinya justru terbalik."
Sang researcher menambahkan, jika berbicara emansipasi dan feminisme, bukankah mereka mengatakan bahwa wanita sama hebat dan sama kuatnya dengan laki-laki? Jika pria bisa, mengapa wanita tidak? Bukankah begitu? Meksipun kita tahu sebenarnya keduanya berbeda. Dan lebih jauh lagi, pria dan wanita punya hak hidup yang sama, bukan? Tetapi, bayangkan, setiap kali ada bencana besar terjadi, atau misalnya bencana tenggelamnya kapal Titanic, wanita dan anak-anak adalah prioritas untuk diselamatkan, mereka mendapati naik di kapal-kapal penyelamat sedangkan para pria harus tetap berdiam di kapal yang hampir tenggelam.
Sumber gambar:
Tidak ada budaya lain selain budaya patriarki yang memosisikan pria-pria dalam kondisi demikian, membiarkan nyawa mereka menjadi taruhannya dengan mendahulukan wanita. Alhasil, menurut sebuah jurnal yang ditulis pada Proceeding of National Academy of Sciences, didapati lebih dari 70% penumpang perempuan selamat, dan hanya kurang dari 20% persen laki-laki yang selamat.Dalam kasus ini, saya tidak melihat bahwa patriarki menindas wanita, pernyataan bahwa patriarki menindas wanita adalah pernyataan yang tidak beralasan dan egois, karena justru budaya patriarkilah yang membuat pria-pria ini rela mengorbankan nyawanya untuk kelangsungan hidup para wanita. Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini bagi manusia selain nyawanya, bukankah begitu?
Sumber: Cracked Feminism - Rekonstruksi Sosial Terakhir. Feri Sulianta. Yogyakarta. Leutika. 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.