[Feri Sulianta] Salah satu lansiran portal berita yang berjudul ‘Studi menemukan bahwa mengeliminasi pembiasan dari guru feminis akan juga mengeliminasi siswa laki-laki dari keterpurukan peringkat di sekolah’(judul asli: Eliminating feminist teacher
bias erases boys' falling grades, study finds) mengambarkan secara
deskriptif kondisi tersebut dan alasan
dibaliknya.
Ilustrasi Anak lelaki putus sekola menjadi tren di negara barat - sumber: https://www.greatschools.org/gk/wp-content/uploads/2012/07/High-school-dropout-resized-750x325.jpg |
Lansiran ini diawali dengan
pertanyaan: “Apakah revolusi seksual, dan juga ideologi feminis mengakibatkan
tersingkirnya para laki-laki dari perguruan tinggi dan merusak anak laki-laki sedini
mungkin di sekolah dan di taman kanak-kanak?” Beberapa penulis mulai
menghubungkan hal-hal utama yang menjadi standar tetapi mengalami pergeseran dalam
praktek-praktek pendidikan melalui ‘penentuan peringkat‘ berdasarkan fakta guna
mengevaluasi problematika yang terjadi, hal-hal utama yang dimaksud yakni:
‘keterampilan emosional, ‘non-kognitif’ dan penurunan kinerja anak laki-laki di
sekolah.
Diceritakan pada lansiran
bahwa pada tahun 1970-an, kritikus feminis kerap kali mengeluhkan bahwa sistem sekolah mengunggulkan cara ‘berpikir
laki-laki’. Dikatakan bahwa pendidikan
saat itu dilihat sebagai hal yang ‘terlalu maskulin’ untuk anak perempuan. Feminis
melakukan intervensi, membuat langkah besar di seluruh negara Barat, dan melakukan
pelatihan bagi guru-guru yang akhirnya mengubah kondisi tersebut.
Bahwa sebagian besar
pembuat kebijakan dan akademisi menerima metode tersebut yang mana, gaya mengajar yang dikatakan adil bagi anak
perempuan justru menghasilkan penurunan kinerja pada anak laki-laki.
Sebuah proyek penelitian
lima tahun, yang didanai oleh Departemen Pendidikan dan Keadilan di Irlandia
Utara, yang baru saja dirilis yang menemukan ‘kelemahan sistemik’ dalam cara
siswa dievaluasi yang kemudian berimbas dengan dirugikannya anak laki-laki.
Belfast Telegraph mengutip
seorang murid yang mengatakan kepada para peneliti, "Guru harus memahami
lebih baik cara berpikir dan cara bertindak anak laki-laki, nyatanya para guru tidak
mengamati hal demikian, mereka seharusnya mampu membedakan karakteristik anak laki-laki
terhadap anak perempuan dalam belajar. "
Penelitian dari tahun 2006 mengungkapkan
terjadinya penurunan kinerja akademik laki-laki selama periode yang sama dengan
munculnya ideologi feminis yang mendominasi banyak kebijakan dalam masyarakat dan secara spesifik juga dalam dunia akademis.
Rasio laki-laki berbanding
perempuan yang lulus dari sebuah perguruan tinggi mengalami penurunan terus menerus sejak tahun 1980,
dan terus menurun sampai dengan tahun 2003, dimana didapati 135 perempuan untuk
setiap 100 laki-laki yang lulus dari sebuah perguruan tinggi dalam jangka waktu
empat tahun masa studi.
Lansiran ini pun membuktikan
kebenaran pernyataan Profesor Christopher Cornwell dari University of Georgia
bahwa paradigma pendidikan masa kini sangatlah ‘feminis’ yang hanya
menguntungkan anak perempuan dan merugikan anak laki-laki, ini dialamati bahkan
sejak awal anak-anak menduduki bangku sekolah.
Temuan sang profesor
memperlihatkan bahwa cara guru (yang secara statistik sebagian besar perempuan),
mengevaluasi siswa tanpa mengacu pada nilai tes objektif. Anak laki-laki secara
‘konsisten’ dinilai berada jauh di bawah
prestasi akademik mereka yang sebenarnya, meskipun anak laki-laki memiliki peringkat
yang kurang lebih sama pada tes matematika, dan secara signifikan lebih baik
pada tes ilmu pengetahuan.
Christina Hoff Sommers,
penulis buku ‘Perang terhadap Anak Laki-laki: Bagaimana feminisme merusak para
remaja pria’ (Judul asli: The War Against Boys: How Misguided Feminism Is
Harming Our Young Men), menulis bahwa ‘gagasan bahwa sekolah dan masyarakat telah membuat perempuan tertindas’ telah menciptakan
berbagai undang-undang dan kebijakan yang memangkas keuntungan bagi anak laki-laki dan membuat upaya memperbaiki kondisi
keterpurukan anak perempuan. Christina pun menambahkan bahwa gagasan tersebut salah dan tidak relevan.
Ini terbukti pada temuan di SMA Scarsdale, New York yang memperlihatkan bahwa tidak adanya bukti yang memperlihatkan nilai keterpurukan anak-anak perempuan.
Ini terbukti pada temuan di SMA Scarsdale, New York yang memperlihatkan bahwa tidak adanya bukti yang memperlihatkan nilai keterpurukan anak-anak perempuan.
Temuan lain memperlihatkan
bahwa akademis feminis, Gilligan Carol pelopor studi perihal gender, mencetuskan
ide demikian dalam risetnya yang minim referensi, tidak adanya data yang dapat
dikaji ulang, bahkan risetnya hanya mengacu pada anekdot semata dengan minimnya
orang-orang yang digunakan sebagai narasumber, lebih lanjut lagi dikatakan
bahwa sang akademis feminis tidak pernah mempublikasikan data yang digunakan
untuk mendukung tesisnya, Christina menuding bahwa Gilligan Carol dan rekan-rekannya
sebagai politisi berjubah ilmu
pengetahuan.
Namun demikian, gagasan
bahwa anak-anak perempuan yang tertinggal dari pada anak laki-laki terus menjadi
topik diskusi di hampir setiap tingkat kebijakan publik untuk ranah edukasi, kondisi
ini bukan terjadi di Amerika Serikat semata. Jangkauan global feminisme sayap
kiri Amerika telah menyebabkan perubahan yang sama, dan hasil yang sama, di
hampir setiap negara Barat.
Gagasan-gagasan tersebut terus menggerus peluang kaum remaja
pria, dukungan justru terus mengalir pada para remaja perempuan, hasilnya
keterpurukan dan kegagalan para remaja pria dalam pendidikan.